Senin, 15 Juli 2013

Makna dibalik PIALA ADIPURA

Sampah masih menjadi masalah di hampir semua kota di Indonesia. Mulai dari kota kecil sampai kota metrolitan sekalipun. Berbagai alternatif penyelesaian sampah telah diusahakan oleh berbagai pihak, tetapi tampaknya belum memberikan hasil yang memuaskan.
Oleh karena keprihatinan inilah, maka kami telah mencoba menerapkan suatu teknologi terapan yang diaplikasi dari berbagai teknologi canggih berbagai negara agar mendapatkan suatu teknik pengolahan sampah yang benar-benar sempurna dan bermanfaat guna. Teknologi ini kami namakan Pengolahan Sampah Berwawasan Lingkungan ( PSBL ).


Dalam rangka memberikan semangat dan motivasi terhadap pemerintah kabupaten/kota untuk mengatasi masalah sampah, maka Kementerian Negara Lingkungan Hidup menyelenggarakan Program Piala Adipura. Dengan fokus untuk mendorong kota-kota di Indonesia menjadi " Kota bersih dan Teduh". Piala Adipura diberikan pada kota / kabupaten yang memiliki karakteristik sebagai daerah perkotaan dengan batas-batas wilayah tertentu yang berhasil menggalakkan program kebersihan diwilayahnya terutama kebersihan terhadap sampah. Keberhasilan ini adalah hasil kerjasama antara Pemerintah Kota dengan Masyarakatnya. Indikator penilaian dalam Piala Adipura adalah kondisi fisik lingkungan perkotaan dalam hal kebersihan dan keteduhan serta pengelolaan lingkungan perkotaan (non-fisik), yang meliputi institusi, manajemen dan daya tanggap.

Namun bangsa Indonesia seperti tidak dapat terlepas dari pengaruh KKN dalam penyelenggaraan program-program kenegaraannya. Seperti yang dilaporkan Walhi ( Wahana Lingkungan Hidup Indonesia ) mengenai Pemberian Piala Adipura 2012, dimana sampai saat ini perlaksanaan program piala adipura dinilai bersifat seremoni dan menghamburka uang. Seperti yang disampaikan oleh Direktur Eksekutif Nasional Walhi Abetnego Tarigan, Adanya permainan dalam pemberian penghargaan, sudah bukan rahasia umum. Misalnya, saat tim penilai turun ke lapangan, pasti akan ada entertain sehingga seolah-olah semua bisa diatur. Apalagi dengan sistem sectoring, kemungkinan bisa diatur juga besar.

Selain dampak negatif diatas, hal lain yang harusnya menjadi perhatian yaitu mengenai kriteria yang belum jelas dan tidak memiliki reward and punishment serta empowerment, baik bagi yang berpredikat terbersih maupun terkotor. Hal ini sama saja dengan penghargaan swasta yang tidak ada efeknya, sehingga sering dimanfaatkan sebagai komoditas politik.

Sebagai contoh, Penghargaan Adipura tahun 2010 yang diberikan kepada Kota Bekasi, saat itu dipimpin Mochtar Mohammad (MM), kota patriot itu meraih Piala Adipura sebagai kota terbersih. Tapi, dua tahun kemudian, tahun 2012, Kota Bekasi mendapat "penghargaan" sebagai kota metropolitan terkotor se-Indonesia. "Penghargaan" kota terkotor itu diterima setelah Wali Kota Bekasi dijabat oleh Rahmat Effendi menggantikan MM. MM sendiri terjerat kasus korupsi, salah satunya dugaan suap Piala Adipura 2010 sebesar Rp 400 juta.
Pendapat lain dari Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan (Bapedal) Aceh, Husaini Syamaun,  beberapa kriteria untuk suatu kota / kabupaten mendapatkan penghargaan berupa piala adipura ini adalah dilihat dari bagaimana kesadaran masyarakatnya untuk ikut serta menjaga kebersihan dan keindahan lingkungan, bukan hanya membebankan pada Pemerintah.

Selain itu, perawatan pasar dari sebuah kota, peranan sekolah-sekolah sebagai duta lingkungan yang sehat dan bersih, kondisi drainase, potensi sampah dari sebuah kota, cara pengelolaan sampah yang baik, ruang terbuka hijau yang memadai juga harus menjadi pertimbangan.



Sumber :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar